Oleh Agung Setyahadi
Segelas kopi panas beraroma harum itu bisa menceritakan penggalan peradaban, menyusup ke labirin terindah sekaligus terpedih dari Maluku dan negeri ini. Inilah rumah kopi Sibu-sibu di Kota Ambon, meeting point bagi mereka yang bermusuhan dan kembali merintis semangat kebangsaan di hari lain.
Gerimis yang mengguyur Ambon siang pekan lalu mengiringi Rudi Fofid (44), mantan Koordinator Maluku Media Centre, menghirup kopi dan mengenang masa-masa rekonsiliasi tahun 2004 di tempat itu.
Rumah kopi Sibu-sibu—ruang rekonsiliasi itu—terletak di salah satu sudut perempatan Tugu Trikora.
Di masa gawat dulu, orang Muslim masuk ke rumah kopi itu melalui pintu yang menghadap Jalan AM Sangadji. Orang Kristen masuk lewat pintu yang menghadap Jalan Said Perintah.
Rumah kopi ini jadilah bukan warung kopi biasa. Bangunannya tembok kuat bercat putih bersih. Hiasan dindingnya tak kurang luar biasa: puluhan poster berpigura dan foto-foto yang dipajang rapat. Semuanya tampang nyong dan nona Ambon (Maluku) yang sedang tertawa atau gembira yang dipasang June Tahitu (35), istri Victor Manuhutu (44), pemilik Sibu-sibu. Victor mengumpulkan poster dan foto-foto itu selama sepuluh tahunan.
Dinding itu benar-benar sebuah ”advertensi” tentang Ambon Manise yang tua, tetapi damai.
Rumah kopi itu sendiri terdiri atas ruang utama seluas 7 meter x 5 meter dengan meja dan kursi yang tertata rapi. Di depannya sebuah beranda. Di sini, pelanggan bisa minum kopi sambil memandangi perempatan Tugu Trikora.
Awalnya, setiap komunitas duduk di sisi yang berbeda. Suasana mencair seiring dengan semakin seringnya pertemuan berlangsung kala itu. Jika ada orang yang pernah dikenal akrab, mereka mulai saling menghampiri untuk bersalaman dan berpelukan. Proses rekonsiliasi di rumah kopi ini kemudian menyebar ke rumah kopi lain. ”Pascakonflik orang jenuh dengan situasi di sekitar rumah. Mereka butuh tempat bersantai, bertemu dengan orang sambil bercerita apa saja seperti sebelum konflik. Bagini sudah, sekarang...,” ujar Rudi.
Suasana rumah kopi yang normal, santai, dan bisa ngobrol apa saja itu mengajak setiap orang untuk kembali ke masa harmonis. Kebiasaan orang Ambon duduk di rumah kopi bukan isapan jempol.